Dalam kehidupan siapapun pasti pernah “terjatuh” ke dalam sebuah masalah, entah itu dimaknai sebagai sebuah ujian ataupun musibah. Hal itu wajar saja terjadi sebagai sebuah proses perkembangan dan pendewasaan diri seseorang. Karena proses pendewasaan itu selalu hadir seiringan dengan masalah, pembelajaran dimulai dari bagaimana sikap dalam menghadapi masalah tersebut.
Apalagi jika kita berbicara tentang sebuah jamaah dengan cita-cita besar
bernama jamaah Tarbiyah, yang hari ini sedang mengalami “ujian”nya
dalam proses transformasi dan perkembangan dirinya dari sebuah “jamaah”
menjadi kekuatan yang sanggup memimpin dan menata ulang kembali “taman”
bernama Indonesia.
Dalam proses menghadapi masalah tersebut, tentunya banyak keputusan-keputusan yang diambil agar masalah tersebut dapat diselesaikan secara efektif. Dan tradisi pengambilan keputusan dalam jamaah ini selalu menggunakan system syuro’ atau musyawarah. Setiap pendapat dari masing-masing kepala dikeluarkan lalu dihimpun dan dicari mana pendapat terbaik yang mampu mengatasi masalah dengan efektif dan memiliki resiko terkecil. Namun dalam prosesnya, pasti akan tetap ada orang-orang yang merasa tidak sepakat dengan keputusan syuro’ tersebut, dan akhirnya mencoba untuk memberikan pendapat dan menawarkan pendapat tersebut ke pemegang keputusan dengan berasumsi bahwa pendapatnya itu benar.
Disinilah kadang masalah baru terjadi, ketika ada orang yang merasa tidak sepakat keputusan jamaah, kemudian mencoba bersikap “kritis”, namun dalam aplikasinya menjadi berlebihan hingga menimbulkan sikap “sinis”. Padahal keduanya adalah hal yang berbeda. Jika merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, kritis adalah “bersifat tidak lekas percaya, bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan dan kekeliruan, tajam di penganalisisan”. Sedangkan sinis adalah “bersifat mengejek atau memandang rendah, tidak melihat suatu kebaikan apapun dan meragukan sifat baik yang ada pada sesuatu”
Dalam menyikapi keputusan jamaah tersebut, disinlah kadang perbedaan dua hal tersebut menjadi kabur. Ketika merasa tidak sepakat kepada keputusan jamaah, banyak orang yang menjadi “kritis” padahal sejatinya dia “sinis”. Dan hal ini terkait dari sejauh mana dia memahami persoalan tersebut, dan seberapa luasnya sudut pandang yang diambil dalam memahami masalah.
Dalam proses menghadapi masalah tersebut, tentunya banyak keputusan-keputusan yang diambil agar masalah tersebut dapat diselesaikan secara efektif. Dan tradisi pengambilan keputusan dalam jamaah ini selalu menggunakan system syuro’ atau musyawarah. Setiap pendapat dari masing-masing kepala dikeluarkan lalu dihimpun dan dicari mana pendapat terbaik yang mampu mengatasi masalah dengan efektif dan memiliki resiko terkecil. Namun dalam prosesnya, pasti akan tetap ada orang-orang yang merasa tidak sepakat dengan keputusan syuro’ tersebut, dan akhirnya mencoba untuk memberikan pendapat dan menawarkan pendapat tersebut ke pemegang keputusan dengan berasumsi bahwa pendapatnya itu benar.
Disinilah kadang masalah baru terjadi, ketika ada orang yang merasa tidak sepakat keputusan jamaah, kemudian mencoba bersikap “kritis”, namun dalam aplikasinya menjadi berlebihan hingga menimbulkan sikap “sinis”. Padahal keduanya adalah hal yang berbeda. Jika merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, kritis adalah “bersifat tidak lekas percaya, bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan dan kekeliruan, tajam di penganalisisan”. Sedangkan sinis adalah “bersifat mengejek atau memandang rendah, tidak melihat suatu kebaikan apapun dan meragukan sifat baik yang ada pada sesuatu”
Dalam menyikapi keputusan jamaah tersebut, disinlah kadang perbedaan dua hal tersebut menjadi kabur. Ketika merasa tidak sepakat kepada keputusan jamaah, banyak orang yang menjadi “kritis” padahal sejatinya dia “sinis”. Dan hal ini terkait dari sejauh mana dia memahami persoalan tersebut, dan seberapa luasnya sudut pandang yang diambil dalam memahami masalah.
Mulai lumrah kritikan-kritikan pedas yang tak jarang menurut saya malah
tampak sebagai sebuah hinaan atau caci-maki, dengan alasan “ini kritik
kami terhadap jamaah karena kami cinta jamaah ini”, “kita ingin jamaah
ini kembali sesuai dengan asholah dakwah” dan semacamnya, tanpa
mempunyai analisis dan data yang kuat serta keengganan untuk
mengklarifikasi lebih lanjut kepada jamaah ketika “bermasalah”. Apalagi
disaat jamaah ini mulai menapaki fase mihwar daulah dimana
tantangan-tantangan baru dan perubahan zaman menuntut
keputusan-keputusan yang kadang sama sekali berbeda dengan fase-fase
terdahulu. Sehingga yang keluar menjadi sebuah pendapat justru sebuah
kesinisan yang berbentuk sebuah caci maki.
Saya rasa semua orang pernah kecewa, terlebih lagi kepada “jamaah manusia” yang bernama Tarbiyah ini, baik secara personal kadernya maupun kepada keputusan jamaah. Dan itu adalah hal yang wajar terjadi. Namun yang menjadi permasalahan adalah, bagaimana cara kita mengatasi kekecewaan tersebut? Disinilah titik yang akan membedakan sikap “kritis” dengan “sinis”.
Saya rasa semua orang pernah kecewa, terlebih lagi kepada “jamaah manusia” yang bernama Tarbiyah ini, baik secara personal kadernya maupun kepada keputusan jamaah. Dan itu adalah hal yang wajar terjadi. Namun yang menjadi permasalahan adalah, bagaimana cara kita mengatasi kekecewaan tersebut? Disinilah titik yang akan membedakan sikap “kritis” dengan “sinis”.
Menurut saya, kritik yang dibentuk oleh sikap kritis adalah kritik yang
dikeluarkan dengan analisis dan data yang kuat dengan memahami persoalan
secara menyeluruh, paham medan “masalah” yang sedang dilalui, memahami
dampak ke depannya baik dari kritiknya maupun solusi yang dia tawarkan,
dan kritik yang dikeluarkan itu membangun bukan menjatuhkan.
Sedangkan sikap sinis adalah kritik yang dilandasi sikap benci atau kecewa, mengabaikan analisis dan data, dan sikap yang dikeluarkan terkesan “asal kritik ga peduli dampak yang akan terjadi” dan pada akhirnya hanya akan menjatuhkan. Bahkan tak jarang sikap sinis tersebut keluar hanya dengan bermodal “katanya” tanpa mau mengklarifikasi dan menganalisis dengan lebih mendalam. Sikap ini muncul dikarenakan adanya “asumsi sebelum analisis”. Padahal obyektifitas sebenarnya bisa muncul ketika kita mampu mengambil sikap “analisis mendahului asumsi”. Terlebih lagi ketika kita tidak “kritis” juga terhadap media.:)
Sedangkan sikap sinis adalah kritik yang dilandasi sikap benci atau kecewa, mengabaikan analisis dan data, dan sikap yang dikeluarkan terkesan “asal kritik ga peduli dampak yang akan terjadi” dan pada akhirnya hanya akan menjatuhkan. Bahkan tak jarang sikap sinis tersebut keluar hanya dengan bermodal “katanya” tanpa mau mengklarifikasi dan menganalisis dengan lebih mendalam. Sikap ini muncul dikarenakan adanya “asumsi sebelum analisis”. Padahal obyektifitas sebenarnya bisa muncul ketika kita mampu mengambil sikap “analisis mendahului asumsi”. Terlebih lagi ketika kita tidak “kritis” juga terhadap media.:)
Maka sikap-sikap sebenarnya bisa dipecahkan dengan beberapa hal.
Pertama, penguatan poin arkanul bai’ah pertama yaitu al-fahmu. Ini
berkaitan dengan tradisi intelektual di internal jamaah itu sendiri.
Jika kita belajar pada kemenangan Ikhwanul Muslimin di Mesir, Tarbiyah
hampir 90 tahun hingga meraih kemenangan itu ga berkutat hanya pada
aktivitas politik, namun juga aktivitas ilmu. Alhasil Ikhwan berhasil
menelurkan ulama-ulama yang diakui dunia semacam Yusuf Qardhawi, Sayyid
Hawwa, Muhammad Al Ghazali, dan masih banyak lagi. Hal ini yang saya
pandang perlu dibenahi di jamaah tarbiyah di Indonesia ini. Masih
sedikit karya-karya yang dihasilkan (atau hanya sedikit yang tahu)
terutama fiqih-fiqih yang berkaitan dengan kondisi masyarakat Indonesia
itu sendiri. Ini juga berkaitan dengan seberapa banyak buku yang kita
baca, dan seberapa banyak sudut pandang yang bisa kita gunakan. Dengan
menyuburkan kembali tradisi keilmuan harapannya kader bisa menguatkan
kembali poin al fahmu itu sendiri, sebab jamaah yang tidak membiasakan
tradisi intelektual pada akhirnya hanya melahirkan kader yang taklid dan
fanatik buta, dan pada akhirnya akan hancur atau “terpencil” karena
tidak mampu menjawab tantangan zaman. Karena bagi saya pribadi, al fahmu
itu ga cuma hanya mengerti dalil, tapi juga mengerti konteks dalil,
dimana, kapan dalil itu bisa diterapkan, serta mampu menganalisis dan
merencanakan secara jangka panjang.
Kedua, ini terkait dengan model komunikasi dalam memahami keputusan
jamaah. Mungkin banyak kader yang kadang tidak mengerti mengapa jamaah
mengambil suatu keputusan. Dan ketika ada “serangan” datang, kader
bingung untuk menjawab apa. Dengan adanya komunikasi yang jelas, dan
rasionalisasi sebuah keputusan yang logis, hal ini juga akan
mempersempit kemungkinan kader untuk kecewa. Saya melihat hal ini mulai
diperbaiki ketika pemilukada Jakarta ketika qiyadah memberikan
penjelasan atau rasionalisasi ketika mengapa memilih mendukung Foke
dibanding Jokowi. Ditambah dengan hadirnya web resmi yang aktif seperti
PKSPiyungan, membuat akhirnya kader sendiri mampu belajar menganalisis
mana berita yang benar mana yang salah. Pola komunikasi yang hanya
mengandalkan ketaatan dan ke-tsiqah-an saja tapi mengabaikan al fahmu
hanya akan mematikan kemampuan berpikir dan menganalisis kader yang pada
akhirnya akan berimbas buruk juga bagi jamaah tarbiyah ini.
Ketiga, berani untuk mendengar kritik. Saya yakin jamaah ini bukan anti
kritik. Tapi kita juga bisa memilah mana kritik yang membangun mana
kritik yang cuma melampiaskan kekecewaan belaka. Saya pernah diceritakan
oleh senior, salah satu kelebihan dari presiden kita ustadz Anis Matta,
kritik yang ditujukan kepada jamaah ini selalu dipelajari oleh beliau,
yang akhirnya digunakan untuk memperbaiki hal-hal yang kurang dalam
jamaah ini (tapi ini saya gatau bener atau ngga hehe :p).
Maka mulailah rajin untuk menganalisis segala hal dan segala kondisi
secara menyeluruh, sehingga yang keluar dari pendapat kita bukan fanatik
membela secara membabi buta ataupun sebaliknya, membenci secara
berlebihan, yang pada akhirnya membuat sesuatu yang kita sebut “kritis”
menjadi “sinis” belaka. Lagi-lagi saya mengutip sedikit pendapat kang
@hafidz_ary : komparasikan saja, pilah-pilih, mana yang logis dan
rasional.
Terakhir, saya mau mengutip pendapat salah seorang senior “kalau antum
gampang kecewa sama jamaah, justru harusnya jamaah yang kecewa karena
punya kader gampang kecewa kayak antum!”, dan juga mengutip pendapat
salah seorang ustadz “kalo antum mau keluar jamaah, emang yakin jamaah
lain ga ada masalah? ga punya salah?”. Kita yakin jamaah ini sesuai
namanya “Tarbiyah” adalah jamaah yang senantiasa belajar, karena
cita-cita kita begitu besar, Ustadziyatul ‘Alam menuntut kita untuk
terus menerus belajar dan memperbaiki diri.
Sekian :)
*penulis: @nauval_12 on twitter
0 comments:
Posting Komentar