Wakaf Quran
News Update :

HIKMAH IDUL FITRI (1)

Rabu, Agustus 07, 2013

HIKMAH IDUL FITRI (1)
HIKMAH KEGEMBIRAAN DAN KESYUKURAN

Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri

IDUL FITRI selalu hadir sebagai penutup ibadah puasa Ramadhan setiap tahun. Sudah barang tentu kita semua bersama seluruh kaum muslimin senantiasa menyambut dan merayakannya dengan rasa penuh kegembiraan, keceriaan, kebahagiaan dan kesuka citaan. Namun yang perlu menjadi pertanyaan adalah: sudah benarkah sikap dan cara kita selama ini dalam memaknai, menyambut dan merayakan Idul Fitri? Ini yang harus selalu menjadi bahan renungan dan muhasabah (introspeksi atau evaluasi diri) kita setiap saat, khususnya setiap kali kita berjumpa dengan Idul Fitri seperti hari ini.

Mari kita tengok sejenak beragam pemaknaan dan penyikapan yang ada di masyarakat kita terhadap hari raya idul fitri ini. Diantara masyarakat ada yang memelesetkan idul fitri yang juga biasa disebut hari lebaran menjadi hari bubaran dengan arti: bubar puasanya, bubar pula ke masjidnya, bubar baca Qur’annya, dan seterusnya dan seterusnya. Artinya bubar Ramadhan-nya berarti bubar pula ketaatannya (?). Sementara itu banyak kalangan yang memaknai dan memahami hari raya lebaran ini hampir hanya sebagai hari yang identik dengan segala yang serba baru dan anyar; baju baru, celana baru, jilbab baru, dan lain-lain yang serba baru. Bahkan ada juga sebagian masyarakat kita yang tidak memahami hari raya Idul Fitri melainkan sekadar sebagai ajang pesta kembang api dan ‘perang’ petasan! Meskipun yang disebutkan terakhir ini sudah sangat berkurang sekarang jika dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu.

Sebagaimana, berdasarkan fakta dan realita kebiasaan masyarakat kita, selama ini telah terbangun opini publik yang rasanya sangat sulit untuk diubah, yakni bahwa hari idul fitri itu sama dengan hari mudik dan pulang kampung massal untuk berkumpul dengan keluarga dan handai tolan. Tapi disini, tentu bukan mangan gak mangan ngumpul, tapi justru ngumpul-ngumpul untuk mangan-mangan, karena pada hari raya hampir bisa dipastikan di setiap rumah keluarga muslim makanan dan jajanan selalu banyak dan bermacam ragam. Disamping itu telah terbentuk pula kebiasaan yang sudah merata di masyarakat kita bahwa, hari idul fitri adalah hari salam salaman, hari maaf maafan, hari saling beranjang sana dan bersilaturrahim antar keluarga, kerabat, handai tolan, tetangga dan sahabat.

Itu adalah sekelumit gambaran tentang beragam pemaknaan, penyikapan dan fenomena seputar hari raya idul fitri di masyarakat kita. Tentu masih banyak lagi yang lainnya. Dan tentu saja bukan berarti itu semua salah. Sebagiannya adalah benar, baik, positif dan justru merupakan salah satu sunnah hasanah (kebiasaan baik) yang harus tetap dipertahankan, seperti kebiasaan silaturrahim itu misalnya. Namun jika yang kita pahami dan dapatkan dari idul fitri yang merupakan penutup dan sekaligus pelengkap ibadah Ramadhan, hanyalah yang seperti itu saja, tentu sangat tidak tepat.

Karena Idul Fitri dan Idul Adha adalah dua hari raya dalam Islam yang ditetapkan langsung oleh Allah sebagai pengganti hari-hari raya yang pernah dikenal oleh masyarakat Arab sebelum Islam datang.

عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ: “مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟” قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْر” (رواه أبو داود والنسائي وأحمد وابن حبّان).

Dari Anas dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, sedangkan penduduknya memiliki dua hari khusus yang mereka rayakan dengan permainan, maka beliau bersabda: “Apakah maksud dari dua hari ini?” mereka menjawab; “Kami biasa merayakan keduanya dengan permainan semasa masih Jahiliyah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian yang lebih baik dari kedua hari tersebut, yaitu hari (raya) kurban (Iedul Adha) dan hari raya Iedul fithri.” (HR. Abu Dawud, An-Nasaa-i, Ahmad dan Ibnu Hibban ).

Dan kedua hari raya Islam tersebut dikaitkan dan digandengkan dengan dua rukun utama ajaran Islam yakni: puasa Ramadhan dan haji ke Baitullah di Tanah Suci Mekkah. Maka Idul Fitri dengan demikian – sebagaimana Idul Adha – adalah merupakan salah satu diantara hari-hari dan syi’ar-syi’ar Allah yang harus kita sambut dan rayakan dengan sikap penuh rasa ibadah, pemuliaan dan pengagungan – dalam batas-batas koridor syar’i – sebagai bukti ketaqwaan hati kita. Allah Ta’ala berfirman
 
”Begitulah, dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya itu termasuk (bukti) ketaqwaan hati” (QS Al-Hajj : 32).

Nah, sebagai salah satu syi’ar Allah yang istimewa, tentu saja idul fitri memiliki muatan makna dan kandungan hikmah yang banyak dan istimewa pula, dan yang sangat kita butuhkan sebagai bekal utama dalam perjalanan hidup kita selanjutnya pasca Ramadhan.

Dan dalam kesempatan ini, saya ingin mengajak seluruh kaum muslimin dan muslimat untuk mentadabburi dan merenungkan tentang beberapa hikmah besar di balik momentum syi’ar hari raya idul fitri ini.

Hikmah pertama yang sangat menonjol dari momen idul fitri adalah hikmah kegembiraan dan kesyukuran. Ya, semua kita bergembira dan bersuka ria saat menyambut Idul Fitri seperti sekarang ini. Dan memang dibenarkan bahkan disunnahkan kita bergembira, berbahagia dan bersuka cita pada hari ini. Karena makna dari kata ‘ied itu sendiri adalah hari raya, hari perayaan, hari yang dirayakan. Dan perayaan tentu identik dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah menegaskan itu dalam hadits shahihnya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: (إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي) لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ” (متّفق عليه).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap amal anak Adam dilipatgandakan pahalanya. Satu macam kebaikan diberi pahala sepuluh hingga tujuh ratus kali. Allah ‘azza wajalla berfirman; ‘Selain puasa, karena puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku-lah yang langsung akan memberinya pahala. Sebab, ia telah meninggalkan nafsu syahwat dan nafsu makannya karena-Ku.’ Dan bagi orang yang berpuasa ada dua momen kegembiraan: kebahagiaan ketika ia berbuka (baca: berhari raya fitri), dan kegembiraan lain ketika ia bertemu dengan Rabb-Nya. Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi di sisi Allah daripada aroma kesturi.” (HR. Muttafaq ’alaih).

Tapi yang perlu menjadi perenungan, introspeksi dan pertanyaan kita adalah: kegembiraan seperti apakah yang harus kita miliki dan tunjukkan pada hari raya fitri seperti saat ini? Dan jawabannya bahwa, kegembiraan yang harus kita miliki dan rasakan haruslah merupakan kegembiraan syukur kepada Allah yang telah mengkaruniakan taufiq kepada kita untuk bisa mengoptimalkan pengistimewaan Ramadhan dengan amal-amal yang serba istimewa, dalam rangka menggapai taqwa yang istimewa. Dan bukan kegembiraan lainnya misalnya yang muncul karena merasa telah lepas dari Ramadhan yang disikapi sebagai bulan beban yang serba memberatkan, mengekang dan membelenggu!

Itulah kegembiraan kita sebagai orang beriman: gembira karena ketaatan, kebaikan dan kesalehan. Dan bukan gembira karena sebaliknya, karena kemaksiatan, keburukan dan kejahatan. Seperti yang terjadi di zaman modern seperti sekarang ini, dimana banyak orang yang justru gembira dan bangga dengan kemaksiatan dan penyimpangannya. Dalam sebuah riwayat hadits disebutkan bahwa,

“مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ، وَ سَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ، فَهُوَ مُؤْمِنٌ” (رواه الطّبراني).

”Barangsiapa bersenang hati dengan amal kebaikannya, dan bersedih hati dengan keburukan yang diperbuatnya, maka berarti dia orang beriman” (HSR Ath-Thabrani).

Begitu pula kegembiraan orang berima adalah kegembiraan karena syukur atas berbagai kenikmatan Allah yang tak terhitung. Seperti firman-Nya yang artinya):

“Dan jika kamu mau menghitung nikmat-nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya” (QS. Ibrahim [14]: 34; QS. An-Nahl [16]: 18).

Dan nikmat yang paling utama tentulah nikmat hidayah, nikmat keimanan, nikmat keislaman dan nikmat ketaatan.
Share this Article on :

0 comments: