Wakaf Quran
News Update :

Bulan Ramadhan, Bulan Bercermin Diri (Syahrul Muhasabah)

Minggu, Juli 14, 2013

Bulan Bercermin Diri (Syahrul Muhasabah)

Oleh : Ustadz Ahmad Mudzoffar Jufri

Ramadhan merupakan salah satu sarana dan momentum istimewa bagi setiap mukmin atau mukminah untuk bermuhasabah dan bercermin, yang dengannya ia bisa mengetahui tingkat keimanannya, kualitas ketaqwaannya kepada Allah Ta’ala, dan kadar kerinduannya pada kehidupan ukhrawi yang bahagia. Dan melalui cermin Ramadhan, seseorang bisa menguji diri dan hatinya, untuk mengetahui sudah berada di tingkat apakah ia? Apakah tingkat iman dan taqwanya masih tetap berada di tingkat dasar: dzaalimun linafsih (penganiaya diri sendiri), atau sudah naik ke tingkat menengah/lanjutan: muqtashid (pas-pasan, sedang-sedang saja, dan dalam batas minimal aman dan selamat), atau alhamdulillah sudah sampai di tingkat tinggi: saabiqun bil-khairaat (pelopor dan terdepan dalam berbagai kebaikan)? (lihat QS. Faathir [35]: 32).

Bercermin diri pra Ramadhan

Bagaimana sikap hati dan diri kita dalam menyongsong dan menyambutnya? Bagaimana ketika tahu bahwa, Ramadhan sudah semakin dekat dan telah di ambang pintu? Apakah hati merasa berat karena akan bertemu dengan bulan beban yang serba memberatkan, merepotkan dan mengekang kebebasan? Atau tidak merasa berat, tapi sikap hati biasa-biasa dan santai-santai saja? Atau hati serasa berbunga-bunga karena demikian rindunya ingin segera bersua dengan kekasih hati, sang tamu agung nan mulia, yang senantiasa ditunggu-tunggu kehadirannya?
 
Bercermin diri selama Ramadhan:
  • Bagaimana memanfaatkan momentum istimewa? Karena setiap waktu dalam bulan Ramadhan, setiap detiknya, setiap menitnya, setiap jamnya, setiap harinya, setiap malamnya, setiap siangnya, setiap petangnya, setiap paginya dan seluruhnya, adalah momentum istimewa yang penuh barokah, penuh rahmah, penuh maghfirah, penuh peluang pembebasan dari api neraka, pengabulan doa, penerimaan tobat, pelipat gandaan amal ibadah dan lain-lain, khususnya pada sepuluh malam dan hari terakhir, dan puncaknya pada malam lailatul qadar. Nah, kualitas keimanan dan kadar ketaqwaan seseorang sangat ditentukan oleh sikap dan upayanya untuk menggapai kemuliaan selama Ramadhan.

  • Bercermin untuk melihat hakekat jiwa apa adanya, tanpa campur tangan syetan penggoda dan pengganggu utama, yang (berdasarkan hadits muttafaq ‘alaih) dirantai dan dibelenggu selama Ramadhan saja. Artinya, ketika selama Ramadhan seseorang masih punya niat buruk, kecenderungan buruk, dan amal buruk, maka ia harus sadar bahwa, keburukan itu murni berasal dari potensi fujuur (lihat QS. Asy-Syams [91]: 7-10) dalam jiwanya, dan dari nafs ammaarah bis-suu’-nya (QS. Yusuf [12]: 53), dan bukan dari godaan syetan yang sedang dirantai dan dibelenggu!

Bercermin diri pasca Ramadhan:
 

Bentuk kegembiraan apa yang dirasakan saat menyambut ‘Iedul Fithrie? Apakah karena merasa telah terlepas dan terbebas dari bulan penuh beban yang serba mengekang, sehingga ‘Iedul Fithrie seakan-akan justeru menjadi ajang kangen-kangenan dengan syetan – na’uudzu billah – yang juga baru saja terlepas dan terbebas dari belenggu dan rantai? Ataukah karena merasa telah bebas makan dan minum kembali semaunya dan sesukanya tanpa dijadwal dan dibatasi lagi seperti saat Ramadhan? Ataukah gembira dan puas disertai rasa penuh syukur karena merasa telah mendapatkan taufiq dari Allah, sehingga bisa mengoptimalkan pemanfaatan bulan mulia, bulan agung, bulan istimewa, bulan utama dan bulan suci, untuk menggapai kemuliaan, keagungan, keistimewaan, keutamaan, dan kesucian diri? Juga bercermin diri pasca Ramadhan, untuk melihat sejauh mana perubahan telah didapat setelah melewati masa penempaan diri, tazkiyatunnafs dan tarbiyatudzdzaat? Lalu sudahkan ijazah “la’allakum tattaquun” (lihat QS. Al-Baqarah [2]: 183) didapat dengan sukses?
Share this Article on :

0 comments: